PENYULUHAN PERTANIAN DI PERSIMPANGAN JALAN

Subejo, PhD*

*) Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM

 

Ketika program revolusi hijau (green revolution) dikenalkan awal 1970-an dan berkembang hingga terbukti ampuh dengan pencapaian swasembada beras nasional tahun 1984, penyuluhan pertanian banyak disebut sebagai salah satu kunci kisah sukses tersebut. Kini hampir seperempat abad setelah even tersebut, nampaknya menjadi momen yang penting untuk mengengok kembali eksistensi dan kondisi terkini atas penyluhan pertanian.

Penyuluhan pertanian secara umum dipahami sebagai kegiatan menyebarluaskan informasi pertanian serta membimbing usahatani bagi petani di Indonesia. Dalam perjalannya penyuluhan pertanian telah mengalami masa keemasan dan kesuraman. Dinamika penyuluhan pertanian bergerak sejalan dengan dinamika sosial, politik dan ekonomi nasional. Ketika kebijakan nasional memberi prioritas yang tinggi pada pembangunan pertanian maka aktivitas penyuluhan berkembang dengan sangat dinamis, dan sebaliknya ketika prioritas pembangunan pertanian tidak menjadi agenda utama maka penyuluhan pertanian mengalami masa suram dan stagnasi.

Kejayaan Masa Lalu

Terlepas dari kontraversi dampak revolusi hijau terhadap aspek sosial, ekonomi dan lingkungan sumber daya, fakta sejarah telah mencatat masa kejayaan penyuluhan pertanian dalam mensukseskan program swasembada pangan. Berbagai dokumentasi badan internasional maupun nasional mencatat prestasi gemilang atas peran penting penyuluhan pertanian.

Sejak awal tahun 1970-an para petugas penyuluh dalam berbagai level dibawah program bimbingan missal (BIMAS) bahu membahu memberikan bimbingan teknis (know-how) kepada petani di desa-desa untuk mempraktekan budidaya padi terpadu yang dikenal dengan “panca usaha tani”. Dengan dukungan politik dan finansial yang baik, penyuluh dapat menjalankan fungsinya dengan lancar. Sistim penyuluhan latihan dan kunjungan (training and visit) yang diadopsi dari model Bank Dunia-FAO dapat dikembangkan dengan efektif.

Penyuluhan pertanian yang sistematis tersebut merupakan salah satu faktor penentu kesuksesan menggenjot produkivitas padi. Sebelum introduksi revolusi hijau, produktivitas padi hanya berkisar pada 1-2 ton/ha. Pengunaan sarana produksi dan sistim budidaya padi modern telah mampu meningkatkan produktivitas padi menjadi 4-5 ton/ha.

Setelah pencapaian swasembada beras, prioritas pembangunan nasional nampaknya tidak lagi perpihak pada pertanian. Dalam dokumen kebijakan pembangunan, setelah tahapan prioritas pembangunan pertanian, dilanjutkan dengan pembangunan industri yang berbasis pertanian. Dalam prakteknya, hal itu tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Industri-industri yang dikembangkan tidak berkaitan sama sekali dengan pertanian. Sudah bisa diduga bahwa pembangunan pertanian mengalami stagnasi bahkan kemunduran yang luar biasa.

Terkait dengan penyuluhan pertanian, sistem kelembagaan dan sistem tata kerjanya juga mengalami perubahan dengan pola yang tidak jelas. Afiliasi kelembagaan serta tuntutan kompetensi penyuluh juga berubah dengan arah yang tidak berpola. Ketika masa revolusi hijau penyuluh di lapangan yang langsung bersentuhan dengan petani memiliki homebase di Balai Penyuluhan Pertanian/BPP yang ada di setiap kecamatan, namun sejak tahun 1990-an kelembagaan menjadi tidak jelas bahkan banyak yang dibubarkan.

Dalam hal kompetensi penyuluh, orientasi berubah-ubah dari tuntutan kompetensi tunggal misalnya tanaman pangan (monovalen) menjadi kompetensi plural (polivalen). Setelah beberapa waktu, tuntutan kompetensi juga dikembalikan lagi ke monovalen.  Hal ini membingungkan penyuluh di lapangan.

Implementasi UU Otonomi Daerah juga semakin membuat penyuluhan pertanian menjadi tidak pasti baik dalam afiliasi kelembagaan maupun personalianya. Meskipun salah satu hal ideal yang ingin dicapai dengan otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan kepada khalayak sesuai dengan kondisi lokal, namun dalam prakteknya masih jauh dari harapan.

Bagi daerah dimana kepala daerah dan politisi lokalnya memiliki perhatian besar pada pembangunan pertanian maka pembangunan dan penyuluhan pertanian berkembang pesat. Namun sebaliknya,  cukup banyak kepala daerah dan politisi lokal yang tidak memandang penting atas pembangunan pertanian, akibatnya kedudukan penyuluhan pertanian menjadi tidak jelas bahkan banyak yang dibubarkan.

Revitalisasi Penyuluhan

Masa-masa suram pembangunan pertanian dan lebih khusus lagi penyuluhan pertanian telah berdampak pada stagnasi produksi pertanian. Hal ini juga telah medorong pemerintah pusat dan DPR untuk merancang perundangan penyuluhan pertanian. Melalui pembahasan panjang dan melelahkan, pada Oktober 2006 telah diundangkan UU No.16/2006 tentang Sistim Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Salah satu amanat UU tersebut adalah pembentukan kelembagaan penyuluhan di berbagai level administrasi pemerintahan, selain itu pemerintah daerah harus berkontribusi terhadap pendanaan kelembagaan dan operasionalisasinya.

Dalam prakteknya tidak mudah, interpretasi UU Otonomi Daerah yang memberi ruang besar bagi kepala daerah dan DPRD untuk mengatur kelembagaan daerah kadang-kadang mengabaikan dan tidak memberi ruang yang cukup atas amanat UU SP3K.

Implementasi kebijakan penyuluhan yang lain adalah perekrutan petugas penyuluh bantu/kontrak yang ditagetkan mencapai 10.000 orang sampai dengan 2007. Langkah ini cukup membantu mengatasi persoalan kekurangan penyuluh lapangan di daerah akibat banyak petugas pensiun atau beralih lembaga dan profesi setelah otonomi daerah. Dalam banyak kasus, kinerja penyuluh bantu juga diragukan karena dengan status kontrak sebagian digunakan sebagai batu loncatan untuk mencari pekerjaan yang lebih permanen. Status tersebut mempengaruhi semangat dan kinerjanya di lapangan sehingga perlu ditinjau kembali.

Tantangan Masa Depan

Sejalan dengan perubahan dan tuntutan global, dunia pertanian juga mengalami dinamika yang luar biasa. Model pendekatan lama dimana penyuluhan merupakan agen transfer teknologi dan informasi sudah tidak cukup. Tuntutan di lapangan semakin rumit sehingga jika penyuluhan pertanian sebagai penyedia public goods tidak bisa berperan dengan baik maka akan semakin ditinggalkan oleh penguna tradisionalnya. Pada saat ini penyuluh-penyuluh lapangan swasta yang juga merupakan pelayan teknis perusahaan sarana produksi nasional dan multinasional juga telah merambah ke desa-desa.

Daram era baru pertanian, penyuluh lapangan dituntut untuk memiliki fungsi paling tidak dalam tiga hal yaitu transfer teknologi (technology transfer), fasilitasi (facilitation) dan penasehat (advisory work). Untuk mendukung fungsi-fungsi tersebut, penyuluh pertanian lapangan mestinya juga menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Tema-tema penyuluhan juga bergeser tidak hanya sekedar peningkatan produksi namun menyesuaikan dengan isu global yang lain misalnya bagaimana menyiapkan petani dalam bertani untuk mengatasi persoalan perubahan iklim global dan perdagangan global. Petani perlu dikenalkan dengan sarana produksi yang memiliki daya adaptasi tinggi terhadap goncangan iklim, selain itu teknik bertani yang ramah lingkungan, hemat air serta tahan terhadap cekaman suhu tinggi nampaknya akan menjadi tema penting bagi penyuluhan pertanian masa depan.