Petani Mandiri di Era Revolusi Industri 4.0 – Alia Bihrajihant Raya, SP., MP., Ph.D

Menurut Undang-undang Sistem Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan No 16 Tahun 2006, menyatakan bahwa pertanian yang dalam hal ini mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan adalah seluruh kegiatan yang meliputi usaha hulu (usaha hulu adalah proses pra-produksi, usahatani (produksi), pemanfaatan modal, SDA (tanah, airuntuk menghasilkan komoditas pertanian primer, agroindustri yaitu memproses hasil pertanian nabati dan hewani menjadi produk yang dapat meningkatkan nilai tambahnya, prosesnya mencakup pengubahan dan pengawetan melalui perlakuan, penyimpanan, pengemasan dan distribusi., pemasaran pertanian (cirinya produk dihasilkan secara terpisah (produsen ada di banyak lokasi), produk umumnya berupa bahan mentah yang masih memerlukan pengolahan lebih lanjut, jumlah produk kecil sehingga terkadang tidak bisa menutup biaya2 yang harus dikeluarkan untuk kegiatan pemasaran (misal logistik), padahal pemasaran itu tergantung pada permintaan konsumen dan preferensi pembeli. Selain itu adalah usaha jasa dalam bidang pertanian. Kegiatan usaha pertanian ini dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja dan manajemen agar meningkatkan kesejahteraan.

Petani adalah perorangan beserta keluarganya atau berkelompok mengelola usaha di bidang pertanian yang meliputi usaha hulu, usahatani, pemasaran dan jasa lainnya. Petani menurut Soekartawi dibedakan menjadi petani kecil dan petani besar, dalam penelitiannya mengatakan bahwa definisi petani kecil adalah petani yang memiliki lahan sempit, kurang dari 0,25 ha lahan sawah di wilayah Jawa dan 0,5 ha di wilayah luar jawa. Selain itu, petani dengan pendapatan rendah, kekurangan modal dan tabungan terbatas serta memiliki pengetahuan terbatas. Jika kita melihat data dari sensus pertanian yang dilakukan tahun 2013, mayoritas petani Indonesia berumur 25-54 tahun sebesar (54%) tetapi yang berumur lebih dari 55 tahun juga tinggi yaitu sebesar 33%. Hal ini menggambarkan bahwa petani kita sudah berada pada usia senja. Hal ini tidak saja terjadi di Indonesia, penelitian menyatakan bahwa di Amerika, di Jepang, Thailand, Vietnam, Korea dan berbagai belahan dunia lainnya juga mengalami hal yang sama. Generasi muda pergi urbanisasi karena mereka mempunyai persepsi 3D untuk sektor pertanian, yaitu dirty, dangerous, and difficult. Kotor, tergantung iklim sehingga resiko tinggi dan pendapatan sedikit (unbankable).

Gambar 1. Sub sektor yang digeluti oleh Rumah Tangga Tani

Sumber: Data Sekunder, 2013

 

Terlihat pada Gambar 1. yang mengggambarkan bahwa mayoritas petani Indonesia memproduksi tanaman pangan, yang dalam hal ini, komoditas yang bukan high value, mereka bertani untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya saja, tidak memperhitungkan profit, produk yang mereka jual adalah produk mentah, memerlukan biaya transportasi besar dan harga di pasaran tidak kompetitif.

 

Nah, dengan keterbatasan yang kita miliki saat ini, dan era yang berubah, perlu ada strategi yang dapat menyelamatkan pertanian di masa depan. Mari kita lihat pada Era Revolusi Industri 4.0. Ada 3 elemen penting dalam Era 4.0 yaitu cyber-physical, internet of things and bio-technology.

Ketiga hal ini bisa kah membantu petani di masa depan?

Tentu saja hal ini dapat membuat peta dunia pertanian akan berubah jika kita memanfaatkannya. Cyber-physical misalnya memberikan sebuah teknologi yang mengarah pada pertanian presisi (smartfarming), alat tersebut dapat memberikan informasi tentang kapan suatu lahan perlu dipupuk, disiram, kapan waktu tanam agar tidak kekeringan atau kebanjiran. BMKG setiap 6 bulan merilis informasinya iklim yang dapat membantu petani menentukan waktu tanam, LAPAN dengan website SADEWA telah membuat mapping, intensitas hujan, yang dapat memberikan prediksi kapan sebaiknya produk pertanian dijemur, jika harus menjemur di bawah sinar matahari.

Bio-technology, perkembangan bioteknologi bukan hanya masalah membuat gen baru, tetapi pemanfaatan agen hayati, makhluk halus, mikrobia, yang dapat meningkatkan produksi pertanian, memberikan multivitamin bagi tanaman bahkan agen hayati kitosan dapat digunakan untuk memperpanjang masa simpan.

Internet of things, semua informasi, aplikasi, penggunaannya berbasis internet. Dengan berbasis internet maka akan mudah mendapatkan segala informasi, data dan bahkan interaksi antar petani. Namun, yang menjadi permasalahan adalah apakah informasi tersebut telah atau dapat diakses oleh petani kita. Internet of things telah menjadi perantara bertemunya pelaku usahatani, pelaku penyedia faktor produksi, pedagang hasil pertanian dan konsumen secara langsung. Langsung yang dimediasi dengan alat yang namanya internet.

Sekedar ilustrasi, jika pemasaran tadi fokusnya adalah pada kebutuhan dan preferensi konsumen, maka pelaku usahatani (petani) dapat merencanakan tanam komoditas tertentu berdasarkan permintaan konsumen. Pasar dan pemasaran sekarang sangat transparan. Perantara dalam pemasaran tidak bisa dengan mudah mempermainkan harga, karena informasi telah sangat banyak bertebaran di internet, hanya bagaimana kita mengaksesnya.

Jika pertanian di Era 4.0 ini demikian canggihnya, persepsi pertanian 3D tadi dirty, dangerous dan difficult dapat dikikis dan membawa angin segar bagi petani muda tentunya. Petani yang berjiwa muda juga lebih baik lagi.

Bahasan kita selanjutnya adalah seperti apa gambaran petani yang cocok di Era 4.0?

Petani di Era 4.0 adalah petani yang mempunyai literasi media (melek media) yang baik dengan cara memanfaatkan media dengan bijak, program aplikasi fitur yang dimanfaatkan di media adalah program atau aplikasi atau fitur yang produktif, bukan lagi hanya sekedar entertainment tapi edutainment. Petani diharapkan mampu mencari informasi dengan penggunaan kata kunci yang sesuai, setelah mendapatk an informasi maka berusaha untuk memahami dan mengevaluasi kebenaran informasi tsb. Hal ini disebut sebagai melek informasi (literasi informasi)

Dukungan literasi media dan literasi informasi ini dapat menjadi faktor pendorong bagi petani untuk mengaplikasikan pertanian inovatif. Pertanian inovatif ini dapat mengubah pandangan pertanian menjadi gaya hidup modern. Pertanian inovatif seperti hidroponik yang dapat menyajikan sayur segar dari ruang di dekat mereka akan menerbitkan semangat generasi muda dalam berpartisipasi di sektor pertanian. Perlu juga insentif dengan mempermudah akses permodalan pertanian. Jika tidak salah, beberapa bank telah memudahkan akses kredit 25juta ke bawah tanpa agunan. Jika telah memiliki lahan dan kawasan pertanian, dapat mengelola kawasan tersebut sebagai kawasan agrowisata. Agrowisata dapat dikelola oleh desa dengan menggunakan BUMDES misalnya, keuntungan dapat dibagi hasil dengan para pemegang saham yaitu warga masyarakat.

Seperti yang saya sampaikan tadi, kawasan, maka mengelola pertanian itu basisnya adalah komunitas. Petani mandiri bukan berarti petani yang berjalan sendiri-sendiri. Komunitas ini haruslah dipimpin oleh seorang pemimpin yang transformasional. Pemimpin yang mampu memahami keinginan dan kebutuhan kelompok serta keunggulan kawasan/komoditasnya. Dengan adanya komunitas, memunculkan gatekeeper sebagai seorang filter yang masih tetap menjamin adanya kearifan lokal. Serta komunitas yang kuat maka akan mampu menyiapkan generasi penerus, yang mampu membuat usaha pertaniannya terus berlanjut. Kunci yang selanjutnya adalah networking, di Era 4.0 ini networking menjadi sangat penting, menjadi petani mandiri dengan mempunyai network kemitraan pada banyak kalangan. Kemitraan, promosi dan penjaminan kualitas produk merupakan wrap up dari keberhasilan usahatani di Era 4.0 atau digital ini.

Baik, di Era 4.0 ini merupakan peluang yang sangat besar bagi petani muda dan regenerasi SDM pertanian. Pertanian tidak lagi mempunyai citra kotor, penuh resiko dan sulit. Bantuan internet, aplikasi/alat dan bio-teknologi akan mendorong dan memudahkan usahatani pertanian. Kuncinya adalah petani mau mencari dan memanfaatkan informasi, berkreasi dengan pertanian inovatif, mau berkembang bersama komunitasnya dan memperluas jaringan. Dengan begitu kesejahteraan petani akan dapat meningkat. Oleh karena itu, mari siapkan diri menjadi petani mandiri di era 4.0.