Andi Syahid Muttaqin
Lab. Agroklimatologi, Dept. Tanah, Fakultas Pertanian UGM
andi.syahid@mail.ugm.ac.id
Di Indonesia, musim hujan dan musim kemarau bisa terjadi secara bersamaan di wilayah yang berbeda. Hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki pola musim yang beragam. Secara garis besar, Indonesia memiliki tiga pola hujan: monsunal, ekuatorial, dan lokal. Sebagai contoh, pada pertengahan bulan September 2018, sekitar wilayah pulau Jawa mengalami kemarau yang terpengaruh pola monsunal. Sedangkan, wilayah Medan mengalami musim hujan dan bahkan menyebabkan bencana banjir (https://www.liputan6.com/regional/read/3645278/ratusan-rumah-warga-medan-terendam-banjir-hingga-2-meter).
Di sekitar wilayah Jawa, baik musim hujan maupun kemarau dipengaruhi terutama oleh “monsun”, yaitu arah angin yang persisten baik dari arah timur (monsun timuran) ataupun dari barat (monsun baratan). Monsun timuran (dikenal juga sebagai monsun India) menyebabkan wilayah Jawa kekurangan suplai uap air sebagai sumber pembentukan awan dan hujan. Monsun timuran ini “menyapu” uap air yang berada di atas wilayah Indonesia menuju ke samudera Hindia hingga jatuh sebagai hujan di wilayah India. Hal ini lah yang menyebabkan wilayah Jawa minim uap air, terhambatnya pembentukan awan, dan karena kondisi seperti ini berlangsung terus menerus selama periode monsun timuran maka terjadilah musim kemarau.
Ilustrasi: Kemarau menyebabkan lahan pertanian kekeringan. (Sumber: tribunnews.com)
Monsun timuran selalu berulang setiap tahun pada kisaran waktu yang sama, sekitar bulan Juni hingga September (JJAS), karena dipengaruhi oleh pergerakan semu matahari yang berulang secara periodik dan teratur. Bulan-bulan tersebut merupakan puncak musim hujan di India dan puncak musim keamarau di Jawa. Namun, kekuatan musim kemarau bervariasi setiap tahunnya. Sebagai contoh, kemarau tahun 2016 sangat berbeda dengan kemarau tahun 2018 ini. Kemarau tahun 2016 merupakan “kemarau basah”, yaitu kemarau dengan intensitas curah hujan yang setara dengan musim penghujan, yang disebabkan karena La Nina lemah yang berbarengan dengan IOD negatif yang menjadikan perairan di Indonesia lebih hangat dan mensuplai uap air yang banyak untuk selanjutnya memicu hujan saat musim kemarau. Lalu, bagaimana dengan kemarau tahun 2018 ini?
Kemarau tahun 2018 tidak terpengaruh oleh ENSO maupun IOD karena selama bulan-bulan JJAS kedua variabilitas iklim tersebut berada pada kisaran normal. Namun, ada satu parameter iklim lain yang perlu kita cermati, yaitu indeks monsun yang memberikan gambaran mengenai seberapa kuat monsun timuran yang sedang terjadi. Terdapat beberapa jenis indeks monsun yang telah dikembangkan oleh para peneliti iklim. Namun, indeks monsun yang bisa kita cermati untuk memantau kekuatan musim kemarau salah satunya adalah indeks monsun India (IMI). Nilai IMI menunjukkan kekuatan monsun di India dan dapat pula menggambarkan kekuatan musim kemarau di wilayah Indonesia. Berikut adalah grafik IMI (sumber: APDRC Hawaii).
Grafik Indeks Monsun India (IMI) dengan satuan m/s (meter per detik). Nilai IMI merupakan nilai harian yang ditunjukkan oleh lingkaran kecil. Garis merah merupakan perata-rataan IMI dengan selang 5 harian. Garis biru menunjukkan nilai IMI secara klimatologis (rata-rata jangka panjang). Nilai IMI (lingkaran atau garis merah) yang lebih tinggi dari garis biru menunjukkan musim kemarau di Jawa yang lebih kuat dari biasanya, dan sebaliknya. (Sumber: Asia-Pacific Data-Research Center.)
Selama periode musim kemarau tahun 2018, nilai IMI menunjukkan fluktuasi. Terdapat hari-hari di mana indeks monsun lebih kuat dari rata-rata (garis biru) dan ada pula yang di bawah rata-rata. Nilai IMI rata-rata klimatologis (garis biru) saat puncak musim kemarau di Jawa sebesar 10 m/s. Namun, indeks IMI tahun 2018 ini bisa mencapai 16-17 m/s yang terjadi pada pertengahan bulan Juli dan Agustus 2018.
Simpulan
Musim kemarau tahun 2018 tidak terpengaruh oleh efek ENSO dari Samudera Pasifik maupun IOD dari Samudera Hindia. Berdasarkan Indeks Monsun India (IMI), teramati kekuatan monsun yang fluktuatif namun puncak musim kemarau tahun ini tercatat 60-70% lebih kuat dan terjadi pada bulan Juli-Agustus. Pada bulan September hingga Oktober, secara klimatologis kekuatan musim kemarau pada umumnya semakin melemah. Namun, pada minggu kedua bulan Oktober 2018 tercatat adanya penguatan nilai IMI yang mengindikasikan musim kemarau masih belum berakhir sepenuhnya.