INDUSTRI PEDESAAN DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

Subejo, PhD *)

*) Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM
dan Sekolah Pascasarjana UGM serta Peneliti PSEKP UGM

 

Dalam dinamika makro ekonomi nasional ada fenomena yang unik dan menarik. Struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) nasional tahun 2015-2016 berdasarkan lapangan usaha menunjukkan kontribusi pertanian, kehutanan dan perikanan relatif stagnan berkisar antara 13,51  sampai dengan 14,34 persen. Lapangan usaha kelompok pertanian, kehutanan dan perikanan merupakan kontributor PDRB nomor dua. Sedangkan penyumbang PDRB terbesar  adalah lapangan usaha industri pengolahan dengan sumbangan 20,28 sampai dengan 21,18 persen (BPS, 2016).

Kelompok industri pengolahan yang telah memberikan sumbangan cukup besar dalam perEkonomian nasional nampaknya industri skala besar yang dikelola dengan peralatan dan infatruktur modern serta merupakan industri padat modal. Sebagai konsekuensinya tenaga kerja yang terlibat dalam industri tersebut juga membutuhkan prasyarat dan kualifikasi keahlian tertentu yang hanya bisa diisi oleh tenaga kerja terampil  (skill labor) dengan kapasitas SDM yang tinggi.

UMKM Sektor Agro Dominan

Meskipun kontribusi  kelompok pertanian, kehutanan dan perikanan dalam PDRB nasional tidak lebih dari 15 persen, namun pelaku sektor ini  jumlahnya sangat besar dan mendominasi angkatan kerja nasional. Karatkeristik pelaku usahanya termasuk dalam usaha mikro, kecil dan mengah (UMKM). Kementerian Koperasi dan UMKM (2014) melaporkan UMKM kelompok pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan jumlahnya paling besar yaitu 26,96 juta (48,85 persen UMKM). Kelompok industri pengolahan masih relatif belum berkembang hanya berjumlah  3,46 juta (6,41 persen).

Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam UMKM juga sangat besar. Sebagaimana Laporan Kementerian Koperasi dan UMKM (2014), tahun 2013 total tenaga kerja UMKM sebesar 114,14 juta orang (96,66 persen) sedangkan pelaku usaha besar sebanyak 3,15 juta orang (3,01 persen). Sebagian besar pelaku usaha UMKM merupakan kelompok usaha mikro yaitu sebanyak 104,62 juta orang (88,90 persen) sedang sisanya merupakan pelaku usaha kecil dan menengah.

UU No. 20/2008 tentang UMKM mendefinisikan suatu usaha dikelompokkan dalam usaha mikro jika asetnya maksimal 50 juta rupiah dan omsetnya maksimal 300 juta rupiah. Kelompok usaha kecil memiliki aset 50-500 juta rupiah dan omsetnya 300 juta-2,5 miliar rupiah. Kriteria usaha menengah jika asetnya 500 juta-10 miliar rupiah dan jumlah omsetnya 2,5-50 miliar rupiah. Sedangkan  usaha besar yaitu usaha yang memiliki aset lebih dari 100 miliar rupiah serta omsetnya lebih dari 50 miliar rupiah.

Keberhasilan pembangunan UMKM untuk kelompok pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan  serta industri pengolahan sangat terkait dengan  solusi dan strategi dalam pembangunan pertanian secara makro. Sampai dengan saat ini, usaha primer kelompok pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan  masih sangat dominan. Dengan mempertimbangkan berbagai problematika dan tekanan pada usaha primer sektor agro seperti laju alih fungsi lahan pertanian, upaya peningkatan produktivitas dan peningkatan serapan tenaga kerja di pedesaan, diperlukan upaya yang lebih serius untuk mengembangkan sektor sekunder dengan  membangun industri pedesaan (rural industry). Salah satu fokus yang strategis  adalah pengembangan industri pengolahan skala mikro, kecil dan menengah. Bahkan selain sektor sekunder, juga sangat dimungkinkan mengembangkan sektor tersier di pedesaan Indonesia.

Dukungan pemerintah dan pihak terkait

Pengembangan industri pedesaan dapat ditempuh dengan memanfaatkan dan mempromosikan berbagai potensi sumberdaya lokal seperti pengolahan berbagai produk agro, kerajinan, jasa pertanian, jasa agro wisata dan lain sebaginya. Industri pedesaan dapat menjadi alternatif pekerjaan bagi petani di pedesaan. Beberapa strategi untuk mendorong pembangunan industri pedesaan antara lain memanfaatkan bahan baku lokal, industri yang tidak membutuhkan keterampilan dan peralatan khusus, dapat menyerap tenaga kerja setempat dan tidak membutuhkan modal besar. Dalam jangka menengah atau jangka panjang, seiring dengan peningkatan kuantitas dan kualitas produk, dapat dibangun kemitraan (partnership) dengan industri besar atau eksportir produk.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memberikan prioritas kebijakan, program dan anggaran untuk mendorong pengembangan indutri pedesaan. Selain itu BUMN dan korporasi swasta melalui program CSR dapat terlibat dalam permodalan usaha dan pengembangan produk, sedangkan perguruan tinggi juga dapat aktif terlibat dalam pengembangan inovasi dan teknologi terkait serta peningkatan kapasitas sumberdaya manusia pelaku UMKM.

Berbagai kebijakan dan program prioritas dapat memfasilitasi pembangunan industri pedesaan sehingga dapat berkembang  pesat dan memiliki nilai ekonomi yang besar. Performa industri pedesaan yang baik dan menguntungkan pada akhirnya akan menarik minat tenaga kerja on-farm ke off-farm dan non-farm. Pengurangan jumlah tenaga kerja on-farm di kawasan pertanian akan berimplikasi pada semakin besarnya rasio luas lahan pertanian yang dikelola oleh penggarap. Pada gilirannya akan terjadi peningkatan skala usaha pertanian sehingga usaha pertanian  menjadi usaha yang semakin produktif, prospektif dan menguntungkan. Implikasi dalam kehidupan pedesaan, usaha pertanian dapat dipandang sebagai usaha ekonomi yang dinamis dan hidup (viable) yang  mampu menjamin kehidupan layak bagi pelaku usahanya. ***